Kamis, 01 Desember 2011

WORDISME : Menulis untuk hidup, dan menghidupkan


Lagi-lagi posting blog yang agak telat. Tapi tidak ada kata terlambat untuk apapun, ya kan?


Tanggal 19 Desember lalu, saya ikut menghadiri workshop tentang menulis bertajuk WORDISME (bisa juga dibaca Word-is-me) yang diprakarsai oleh penulis ternama Indonesia mbak Alberthiene Endah. WORDISME adalah one day writing workshop bertagline ‘Menulis untuk hidup, dan menghidupkan’ yang menurut mbak AE memang bertujuan untuk membimbing bakat-bakat baru dalam dunia penulisan di Indonesia. Mbak AE menyampaikan maraknya tulisan-tulisan yang bertebaran di blog, twitter dan media sosial lainnya, yang menunjukkan tingginya minat generasi muda untuk mencemplungkan diri ke dalam dunia penulisan, namun tidak memiliki pedoman bagaimana harus memulai secara profesional, terlebih lagi, tidak memiliki rasa percaya diri akan tulisannya.
Nah dari alasan di atas, mbak AE akhirnya mengajak teman-teman penulisnya untuk mengadakan acara WORDISME ini. Informasi akan WORDISME sepertinya juga sebatas masih di Twitter. Kebetulan saya yang (lumayan) aktif di Twitter, suatu hari melihat RT dari mbak Ollie (@salsabeela) tentang event ini dan ada teman pula yang memberitahu untuk segera daftar (padahal yakin banyak teman penulis di luar Twitter yang minat ikutan). Cara daftarnya hanya perlu menulis email ke mbak AE, tuliskan kenapa kita ingin jadi penulis. Tidak dijelaskan sih ada berapa email yang masuk ke mbak AE, tapi betapa girangnya hati ini ketika saya mendapatkan email balasan kalau saya terpilih jadi peserta. Kalau melihat timeline Twitter, ada banyak juga yang ngaku nggak terpilih, jadi sebenarnya saya lumayan beruntung deh sampe dipilih :D
Sesi yang dihadirkan di WORDISME ada 5, dan semuanya luar biasa bermanfaat. Pembicara yang dihadirkan nggak tanggung-tanggung, memang orang yang pakar dibidangnya.
Oh ya, karena yang dibahas banyaakkk banget, jadi saya rekap intinya saja.

Sesi I Penulisan Jurnalisme Pop
Pembicara: Petty S. Fatimah @petz09 (Pemimpin Redaktur Majalah Femina) dan Reda Gaudiamo (Pemimpin Grup Majalah Wanita Gramedia)
Dalam sesi ini, yang dibahas adalah bagaimana kiat agar tulisan kita bisa dimuat di media, dalam kapasitas sebagai freelance atau penulis lepas. Hal paling utama yang perlu diperhatikan adalah sesuaikan topik tulisan, gaya bahasa, thesaurus bahkan foto, dengan karakter majalah dan umur pembacanya. Menulislah dengan tertib sesuai format artikel yang biasa terbit di majalah tersebut.
Cukup banyak yang didiskusikan sih, seperti format menulis artikel yang baik (kalimat catcher 25 kata, introduction, dst), pemilihan angle dll. Tapi yang mau saya share, teman-teman penulis bisa banget kirim email ‘jualan diri’ ke contact@femina.co.id jika berminat menjadi penulis lepas untuk majalah Femina, jangan lupa attach contoh tulisan ya.

Sesi II Penulisan Biografi
Pembicara: Alberthiene Endah @AlberthieneE (Penulis biografi Chrisye, KD, Titiek Puspa, Probosutedjo, Ani Yudhoyono, dll)
Banyak sekali yang disharing oleh mbak AE di sesinya yang dipandu oleh host mas Mayong ini, antara lain kiat menulis biografi yang baik, bagaimana penulis harus ‘pacaran’ dengan tokoh yang dituliskan biografinya, agar bisa menyatukan ‘rasa’ dan akhirnya bisa menulis cerita seperti halnya tokoh biografi ini menulis untuk dirinya sendiri. Jika penulis biografi sedang hepi berat, tapi harus menulis tentang kisah kelam penuh airmata si tokoh biografi, nggak dapet banget ‘feel’nya. Mbak AE sampai menyebutkan kata FAILED berkali-kali (lagi tren soalnya, kata FAILED :D).
Intinya mbak AE mengatakan jadi penulis biografi itu haruslah menjadi penulis yang powerful, bisa menggali hati, menyelami perasaan sumber dan tahan mental.
Pertanyaannya, menulis biografi itu biasanya ‘pesanan’ kan ya? Lalu bagaimana dengan kita-kita yang amatir ini, siapa yang mau meminta kita untuk menuliskan biografi-nya?
Jawab mbak AE, tulislah karya terbaik kita dan jadikanlah itu sebagai ID card kita untuk mengajukan diri menulis biografi seseorang. Kalau pun bukan biografi, kita bisa menulis tentang kisah nyata hidup orang-orang gigih (tidak harus orang-orang terkenal). Misalnya perjuangan seorang ibu yang anaknya menderita kanker, kisah pengusaha yang dulunya supir angkot, dll. Buku-buku sejenis ini membutuhkan teknik menulis yang hampir sama dengan menulis buku biografi. Dan yang terpenting, hak cipta buku biografi ini dimiliki oleh penulis lho, bukan tokohnya. Jadi apakah nanti akan diangkat dilayar lebar, diterjemahkan ke bahasa lain, hak cipta ada di penulis dan pastinya penulis yang berhak untuk menerima uang lelah untuk hal-hal tersebut. Asyik ya?

Sesi III Meraih Sukses dari Blog

Pembicara: Ollie @salsabeela (penulis, owner dari kutukutubuku.com dan nulisbuku.com) dan Raditya Dika @radityadika (penulis buku Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, etc - scriptwriter komik/film, komedian)
Sesi paling seru penuh tawa di WORDISME. Dan saya hepi banget bisa di-dongengin sama si jenius lucu bang Radit hehe (ngefans soalnya). Jadi Ollie dan Raditya Dika berbagi kiat bagaimana caranya bisa sukses dari hal yang paling simpel, nulis di blog. Kalau Raditya berlanjut ke film, mba Ollie melebarkan sayapnya ke bisnis. Paling seru waktu Raditya mengajarkan bagaimana mencari perspektif aneh (hal sederhana yang bisa diubah jadi ‘joke’). Contoh nih :
“Dari kecil Mama suka nyuapin aku sambil pura-pura main pesawat. Jadi sendoknya terbang, aaaaa dan ‘pesawat’nya masuk mulut. Jadinya sampai sekarang kalau aku liat pesawat lewat di langit, bawaannya mau mangap aja aaaaa...”
Pesan dari bang Raditya Dika: Sesuntuk apapun, se-bad mood apapun, menulislah. Satu halaman tulisan jelek tidak apa-apa, daripada tidak menulis satu halaman pun. Oke deh Dit, makasih sarannya *kedip

Sesi IV Pelatihan Menulis Fiksi Novel/Cerpen
Pembicara: Djenar Maesa Ayu @djenarmaesaayu (penulis, pemain film), Clara Ng @clara_ng (penulis novel Dimsum Terakhir, trilogi Indiana Chronicle, dll), Hetih Rusli @hetih (editor fiksi Gramedia) dan Windy Ariestanty @windyariestanty (pemimpin redaksi dan editor Gagas Media)
Di sesi ini tidak terlalu banyak membahas tentang teknik menulis, yang berputar sekitar setting, karakter dan plot – namun dua penulis tenar mba Djenar dan mba Clara berbagi kiat bahwa penulis pemula sebaiknya menulis untuk diri sendiri, yang berimbas pada mengenali ‘karakter’ tulisan terbaik yang bisa kita buat. Janganlah menulis untuk tren, jangan menulis untuk penerbit, jangan menulis untuk pembaca (maksudnya mungkin begini, kita terbiasa menulis dengan gaya serius lalu mencoba menulis teenlit, membutuhkan riset dan penyelaman karakter supaya bisa balik ‘abg’ lagi. jika tidak berhasil, gagallah karya tersebut). Mba Clara juga memberikan wejangan seputar pencarian ide, apa yang akan ditulis. Ide itu murah, katanya. Namun untuk menjadikan buku itu baik, pilihlah ide cerita yang berkemungkinan memiliki banyak konflik.
Kemudian mba Hetih dan mba Windy yang sehari-harinya berkerja sebagai editor, membocorkan apa yang diperlukan agar naskah kita bisa cepat dilirik oleh penerbit. Bagi saya, ini adalah sesi yang sangat mencerahkan.

Sesi V Penulisan Menulis Skenario
Pembicara : Salman Aristo @salmanaristo (penulis skenario film Sang Penari, Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dll), Alexander Thian @aMrazing (penulis skenario sinetron – entah sinetron apa), Aditya Gumay (produser, sutradara, penulis skenario film Emak Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela)
Karena pemahaman saya tentang skenario itu nol, dan karena sesi ini paling sore, mengantuklah saya. Untungnya perdebatan antar pembicara seru, jadi saya ikutan ‘seger’ lagi. Yang menjadi perdebatan adalah menulis skenario untuk uang, atau untuk idealisme.
Perdebatannya kira-kira seperti ini :
Alexander Thian : “Menulis skenario sinetron memang membuat saya dapat cercaan tiap hari. Tapi kan Anda bebas memilih tujuan Anda menulis. Ingin materi, kesenangan atau idealisme.”
Host : “Anda pilih yang mana?”
Alexander Thian : “Kalau saya jelas uang. Biaya produksi 1 episode sinetron itu bisa 140 juta. Kalau saya hanya mengandalkan idealisme, kru saya bisa tidak makan. “
Aditya Gumay : “Sebentarrr... Saya harus meluruskan ini. Disini banyak sekali penulis-penulis muda. Sayang sekali jika diberikan kesan kalau idealisme itu tidak bisa menciptakan uang. Bisa kok, kita buat film yang bagus tapi juga menghasilkan banyak uang. Saat akan membuat skenario Emak Ingin Naik Haji, saya tidak punya uang dan belum tahu bagaimana akan dapat uang untuk menjadikannya film. Tapi saya tahu film itu harus dibuat. Syukurlah sampai sekarang banyak orang yang terinspirasi film ini. Pesan saya, buatlah karya yang bagus. Buat apa Anda capek-capek bikin karya kalau hanya untuk dihujat setiap hari.”
Peserta workshop : “Mas Thian, maap ya maap... Kenapa ya menulis cerita yang berselera pembantu? Kenapa bukan pembantu-pembantu itu yang diedukasi?”
Alexander Thian : “Saya bukannya gak mau. MAU BANGET. Awal saya terjun ke penulisan skenario sinetron, saya berjanji pada diri sendiri. ‘Saya akan ubah sinetron Indonesia jadi sinetron bermutu!’ Tapi sebulan, dua bulan... gagallah rencana itu. Pernah saya menulis yang agak bagus sedikit, pemainnya benar-benar bisa berakting, teknik pengambilan gambar ala film berkualitas, pembantu saya bilang, ‘Saya nggak suka mas.’ Jadi, ya mau bagaimana lagi?”
Aditya Gumay : ““Wah jangan-jangan rumah yang dipasangi decoder untuk pengukur rating isinya memang babu-babu. Ayolah, jangan sampai level kita hanya level babu. Don’t be a part of the silent majority. Bisa kok buat sinetron bagus tapi tidak gagal di rating. Ingat sinetron Keluarga Cemara? Nah, mudah-mudahan 300-an peserta di sini lebih memilih untuk menulis film berkualitas, tidak hanya mengikuti selera babu.” (disambut riuh tepuk tangan penonton)
Perdebatan tidak persis seperti yang ditulis di atas, tapi kira-kira esensinya sama. Alexander Thian juga gak ‘separah’ kelihatannya, karena mas Thian bilang semoga dengan uang yang dikumpulkannya dari hasil menulis skenario ‘selera babu’, dia bisa memperjuangkan idealismenya kelak. Salman Aristo yang tidak ikut berdebat di topik ‘selera babu’ ini, tetap berbagi kiat menulis skenario yang baik, yang lebih ditekannya pada penguasaan teknik.
Dan itulah seluruhnya mengenai WORDISME. Sebuah acara berbobot yang bermanfaat dan luar biasa. Gratis goodie bag, makan siang, coffee break, snack, dan yang terpenting, gratis ilmu penulisan yang termasuk langka. Harapan saya semoga saja workshop-workshop sejenis akan banyak diadakan. Karena pastinya ini adalah pencerahan bagi siapapun yang berniat menulis untuk ‘hidup’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar