Jumat, 12 Juni 2009

Cerpenku : CALEG


Sebenarnya cerpen ini sudah dimuat di media cetak dari bulan April 2009, tapi aku lupa posting di sini. Maklum Wima tambah aktif aja nih sekarang, lagi belajar jalan soalnya. Sepertinya waktu habis untuk jagain Wima. Maunya main terus lagi. Duh nih blog jadi ngga keurus deh hikss..

Sabtu, 25 April 2009

Orang pertama yang mendukung Parjo jadi caleg adalah bapaknya sendiri.

"Kamu serius, Jo?" tanya sang bapak. "Saya serius, Pak!" sahutnya spontan.

"Bagus, bagus. Bapak mendukung. Dua ekor sapi milik Bapak, boleh kamu jual untuk memuluskan cita-citamu itu. Pokoknya, Bapak ada dibelakangmu!"

"Terima kasih, Pak. Terima kasih,.."kata Parjo sambil mencium tangan bapaknya tertubi-tubi.

Tak sia-sia Parjo meminta doa restu kepada bapaknya karena bapaknya juga tahu bahwa Parjo sudah banyak mengeluarkan biaya demi jadi seorang caleg di daerah asalnya. Dari menjual mobil, sampai lima hektar tanah sawah miliknya dia jual demi cita-citanya jadi caleg terlaksana. Dana hasil penjualan barang berharga miliknya itu dia gunakan untuk membiaya cetak stiker, sablon bendera partai, sewa bus, sewa angkot untuk membawa massa berkampanye dan memberi aksesoris buat mereka yang ikut. mendukungnya.

Biaya itu juga Parjo gunakan untuk menarik simpati para warga di daerahnya dan di beberapa pelosok desa dengan cara membagi-bagikan sembako, obat-obatan dan tour gratis. Juga memberi modal kepada para petani, para pengangguran agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Siapa tahu saat pemilu nanti suara mereka untuk kemenanganku, harap Parjo dalam hati sambil tersenyum. Sah atau tidak sah cara Parjo menarik simpati warga, tidak begitu dia pikirkan. Yang penting niatnya baik. Niatku baik kok, membantu warga. Kenapa dilarang? Renungnya. Dan Parjo melakukannya sejak jauh-jauh hari sebelum tanggal kampanye dimulai. Kupikir, bukan pelanggaran memberi bantuan kepada warga sebelum musim kampanye. Dan aku tidak membisikkan apa-apa kepada mereka yang kuberi bantuan. Hanya kuharap mereka itu ingat aku di TPS saat penyontrengan. Itu doang! Cetus Parjo kumudian.

Partai yang mengusung Parjo jadi caleg DPRD Kota B adalah partai Bumi yang bertujuan memajukan rakyat pribumi. Misi lain yang diemban partai tersebut saat berkampanye di alun-alun kota adalah membebaskan rakyat dari segala tuntutan. Memberantas koruptor sampai ke akar-akarnya. Selain sekolah gratis, naik bus, kereta api, kapal laut itu tidak bayar. Begitu juga pada pesawat penerbangan jarak dekat tidak dipungut bayaran. Dan ini rencananya akan menggunakan sistem abonemen. Tujuannya adalah pemerataan disegala bidang. Tidak ada rakyat bertumpuk di satu kota. Tidak ada sekolah sekolah favorit berlokasi di kota-kota besar. Hutan pun tidak akan sepi penduduknya. Karena sampai hutan pun akan disediakan sarana-sarana kebutuhan masyarakat. Jadi orang akan betah tinggal dimanapun. Dan pemerintahannya nanti akan menanggung semua beban biaya apapun selama tokoh-tokoh di partai Bumi menjadi pemenangnya di pemilu legislatif yang akan datang. Tujuannya adalah agar rakyat sejahtera!

Visi dan misi partai Bumi amat sejalan dengan tujuan Parjo. Visinya adalah meningkatkan pendapatan para petani, nelayan, guru dan mensejahterakan para gelandangan dari kemiskinan yang akut. Sedang misinya adalah kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Kesehatan yang murah, cepat, tanggap. Lingkungan nyaman, transportasi gratis. Pemanfaatan asset daerah bagi lapisan masyarakat. Ya, mudah-mudahan usahaku berhasil, renung Parjo. Dan Timo yang meragukan kemampuanku, akan tahu nanti. Mari Timo, mari kita bertarung secara jantan. Kita caleg dari partai yang berbeda, saat inilah kita bisa membuktikan siapa di antara kita yang paling unggul. Juga kamu Sari, kamu boleh menolak cintaku. Tapi nanti, kamu akan terkejut jika aku sudah duduk di kursi parlemen! Kamu akan bertekuk lutut atau balik menghamba padaku, meminta aku meminangmu. Oh, tidak Sari, tidak. Justru aku akan balas sakit hatiku dengan memilih Sara, adikmu sendiri untuk kujadikan istriku. Lihat saja nanti!

* * *

Di hari pemilihan, semua pemilih hadir. TPS yang dibuat di atas tanah lahan kosong luasnya 16 X 10 meter persegi berdiri tepat di bawah pohon flamboyan dan dibatasi oleh tali rapia agar ada pembatas antara pemilih dan petugas. Tampak teduh, nyaman dan damai. Panwaslu sibuk mengatur para pemilih agar tertib dan duduk di bangku yang telah disediakan. Para kandidat kader dari puluhan partai juga hadir untuk menyumbangkan suaranya bagi diri dan kepentingan partainya masing-masing. Satu persatu para pemilih masuk ke bilik penyontrengan. Mereka berseri-seri saat keluar dari bilik penyontrengan itu. Dan hampir semua yang keluar dari bilik penyontrengan tersenyum saat berpapasan dengan Parjo. Pasti mereka telah mencontreng nomor urutku, pikir Parjo. Hmm, aku tidak sia-sia menjual semua hartaku demi memberi bantuan pada mereka sebelum waktu kampanye. Memang, demi meraih cita-cita, pengorbanan itu perlu! Lanjut Parjo lagi. Setelah pemungutan suara usai, istirahat sebentar. Lalu dilanjutkan penghitungan suara. Para petugas KPPS dan panwaslu sibuk menyiapkan segala sesuatu yang akan digunakan untuk penghitungan suara hingga usai. Para pemilih bahkan para caleg termasuk Timo seorang caleg yang diusung oleh partai Mambu sangat antusias untuk melihat hasil penghitungan akhir di TPS. Terlebih lagi Parjo. Caleg yang satu ini tampak lebih antusias daripada caleg-caleg lainnya yang turut hadir untuk menyaksikan hasil penghitungan akhir. Parjo duduk di bangku deretan paling depan yang disediakan panitia. Parjo ingin segala sesuatunya tidak terlewatkan oleh tatapan matanya. Pengalaman masa lalu membuktikan, masih ada petugas yang curang dengan melakukan mengglembungan surat suara. Maka untuk pemilu kali ini dia sangat berhati-hati agar kecurangan pada pemilu lima tahun lalu tidak terjadi lagi pada pemilu tahun ini.

Perhitungan suara teramat sengit. Angka-angka saling kejar. Hati Parjo berdebar. Suara buat nama-nama caleg saling siak. Caleg dari partai Belang mengejar. Tapi disiak oleh caleg dari partai Mambu. Timo tersenyum. Para pendukung partai Bumi bersorak karena nama Parjo mengejar bahkan merapat ke urutan dua. Suara riuh. Kadang gaduh dikarenakan petugas pencatat salah menaruh garis angka di baris yang lain.

"Petugas goblok! Jangan curang ya?" seru seorang pemilih.

"Awas, curang tak telanjangi, kowe!" timpal suara dari dalam kerumunan.

"Dipelintir saja burungnya!" balas suara berikutnya. Pengunjung pada gerr.

"Para penonton tenang, ya. Tenang" pinta seorang petugas hansip yang turut membantu mengamankan tempat pemungutan suara.

"Makanya, jangan salah hitung kalau nggak mau bonyok!" teriak dari dalam kerumunan.

Petugas penghitung suara tersinggung, "Suara siapa itu?" bentaknya sambil matanya mencari asal suara.

"Sudah, kerja saja yang bener! Jangan melawan sama massa, bahaya!" teriak para penonton yang tidak lain adalah para pemilih. Akhirnya kegaduhan reda lagi. Suara buat para kandidat kian sengit. Angka terus berkejaran. Semua punya harapan, semua punya peluang untuk menang. Tapi di sisa limapuluh suara terakhir, nama Parjo mulai tertinggal. Justru suara buat caleg Timo makin naik, nyaris diurutan pertama. Parjo mulai panik. Berdoa dalam hati. Mulut Parjo komat-kamit. Dia berharap tak kalah oleh Timo. Maka dia terus bedoa. Memohon Allah berpihak padanya. Perbedaan angka mulai terlihat. Keringat dingin mulai bermunculan di kening Parjo saat mengetahui kertas suara telah habis. Dan surat suara terakhir milik Timo. Timo menjerit. Melompat setinggi langit. Ucapan selamat berdatangan. Timo girang, Timo senang. Parjo menunduk sedih.

* * *

Di bawah pohon flamboyan yang teduh, bilik bekas TPS belum dibongkar. Parjo sejak pagi hari sudah berada di situ. Tapi tak ada para pemilih yang berjubel seperti kemarin dia lihat. Hari ini hanya dirinya sendiri berdiri mematung memandangi sampah-sampah yang berserakan di sekitarnya. Kekecewaan menggunung di dalam hatinya. Sampah kulit kacang, gelas aqua, puntung rokok, pebungkus permen berserakan seperti kepingan hatinya yang telah hancur. Parjo ingat, kemarin dia berdiri empat meter dari papan penghitungan suara. Suara tepuk tangan, suara aplus, suara maki, suara cibir, suara marah, suara riuh yang dia dengar kemarin bergumul di telinganya jadi satu. Kadang berdengung, kadang mengiang. Kemudian dia melihat senyum manis para pendukungnya, senyum sinis para pesaingnya. Dan semua itu berubah pahit. Getir. Mengamuk, membadai. Mulut Timo yang bersungut-sungut, senyum Sari yang mengejek! Parjo merunduk. Parjo ambruk. Adakah yang curang? Pikir Parjo setelah dia menaruh pantatnya di bawah pohon flamboyan itu.

Parjo terbayang juga wajah-wajah panwaslu, wajah-wajah petugas KPPS, wajah-wajah yang mencerminkan keadilan, wajah-wajah yang mencerminkan kejujuran. Lalu muncul wajah-wajah yang dia curigai, wajah-wajah yang licik, wajah-wajah yang meragukan cara kerjanya. Kenapa aku bisa tak terpilih? Bukankah modalku sudah cukup besar untuk mendapatkan suara mereka? Ah, aku jadi malu. Malu kepada mereka yang telah kujanjikan sesuatu. Malu kepada mereka yang telah kurendahkan. Aku tak bisa membalas sakit hatiku kepada Sari, tak bisa membalas kesombongan Timo terhadapku, renung Parjo. Ah, pasti ada yang curang! Bukankah massaku begitu banyak saat kampanye? Mereka mendukung aku untuk jadi caleg di pemilu legislatif tahun ini demi perubahan. Dipegang Timo, mana bisa ada perubahan?

Parjo tidak tahu, kecurangan tetaplah kecurangan. Dibelahan manapun manusia berada, kecurangan itu pasti ada. Dan ini telah dilakukan oleh Timo saingan terdekatnya. Tanpa diketahui oleh Parjo dan oleh siapapun juga, kecuali mereka yang telah didatangi Timo secara diam-diam dua bulan sebelum hari penyontrengan berlangsung. Timo secara diam-diam telah bertemu dengan semua warga desa itu satu persatu di sebuah tempat untuk membeli suaranya dengan sejumlah uang. Timo berhasil. Dan cara ini tidak dilakukan Parjo terhadap warga desanya. Juga soal ini tidak disadari oleh Parjo kalau cara tidak sehat itu telah dilakukan Timo demi kemenangan dalam pemilu legislative kali ini.

Kegagalan jadi caleg karena kalah suara, jiwa Parjo amat terpukul. Dia lupa istigfar. Dia lupa pepatah, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.

Tiba-tiba hati Parjo mendengar suara-suara gaduh hari kemarin.

"Awas, curang tak telanjangi, kowe!"

"Dipelintir saja burungnya!"

Parjo tiba-tiba tertawa. Geli mendengarnya. Lalu dia ingat orasi-orasinya di panggung kampanye tempo hari. Orasi-orasinya telah menciptakan dunia baru di dalam benaknya. Parjo telah membangun dunia baru di dalam kehidupannya kini. Sebuah kemenangan di dalam mimpinya. "Ha ha ha,.. Terima kasih, terima kasih saudara-saudara. Kita telah meraih sebuah kemenangan yang sangat berharga ini. Tidak sia-sia kita berjoget dalam hujan, tidak sia-sia kita jual harga diri demi kursi panas ini. Ayo, mau saya bangun apa di desa saudara-saudara ini? Bilang saja! Pabrik, hotel, bandara? Ayo, bilang saja. Sekolahan, panti pijat, lapangan golf, atau jalan layang di atas kepala saudara-saudara? Ayo, ngomong saja! Ha ha ha" teriak Parjo. Lalu lelaki yang masih perjaka ini berjalan menuju perkampungan penduduk. Bernyanyi sambil tertawa. Orang-orang yang mengenalnya pada terkejut. Kaget melihat Parjo jadi gila.

"Mas Parjo kenapa bisa jadi gila begitu?" celetuk Imah, seorang janda beranak satu yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Sari, seorang gadis desa yang menolak cinta Parjo. Sari cepat-cepat keluar ke rumah setelah mendengar Imah mengabarinya.

"Ih, untung aku tolak dia. Kalau tidak, malulah aku punya pacar jadi orang gila!"

Sambil memukuli kaleng kosong, Parjo mengingatkan orang-orang yang berpapasan dengannya, "Saudara-saudara, jaga tanah air ini. Jangan sampai somplak. Jangan sampai dipotong-potong walau secuilpun. Jaga, jangan sampai dipimpin oleh mereka yang tukang jual asset negara Anak cucu kita harus menikmati hasil kemerdekaan ini. Nang neng nong gung. Nang neng nong gung" celoteh Parjo sambil menari-nari. Bergerak berputar kian kemari.

"Wah, kalah bersaing Parjo jadi gila!" celetuk Timo ketika Parjo lewat di depan rumah Timo yang kebetulan sedang ramai dikunjungi para kerabatnya untuk merayakan keberhasilan Timo jadi caleg.

"Kasihan," kata salah satu teman Timo setelah melihat keadaan Parjo. "Bawa ke rumah sakit saja! Bukankah beberapa rumah sakit sudah menyediakan tempat bagi caleg yang stress atau depresi berat seperti Parjo?"

"Itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah mengurusi orang-orang yang masih waras!" tukas Timo.

"Betul juga, Mo!" sahut teman Timo lainnya.

"Sari Sari, sori ya. Aku tak jadi kawini kamu. Oya, Sara. Kita jadi kawin. Kita jadi kawin, win, win! Tang ting tung ting tong, tang ting tung ting tong. Timo kalah, Timo kalah, wek wek! Timo keok, Timo keok,wok wok wok!" Parjo terus mengoceh sepanjang jalan. Siapa yang salah? Siapa yang patut disalahkan kalau setiap caleg yang gagal jadi gila seperti yang dialami Parjo? Apakah peluang jadi caleg itu sendiri yang begitu mudah persyaratannya sehingga dengan mudah pula menjelma mimpi-mimpi indah menjadi seorang yang bakal duduk di kursi panas dengan gaji yang menggiyurkan?

Parjo jadi gila karena kalah. Adakah Parjo Parjo lain setelah pemilu ini?***

* Depok, April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar