Puisi : Gita Nuari
SEBUAH CATATAN
setelah yang ada tiada
aku baru mulai merasakan betapa hidup
adalah sebuah pergerakan. seperti angin
di kamarmu, datang mendinginkan dirimu
pergi memanaskan hatimu
meski kau dapat bernyanyi
tapi untuk siapa lagu itu
lelaki yang terpuruk di ujung jalan
barangkali ia penyebab engkau mengurung diri
di antara ada dan tiada
dan kau ingin menjelma jadi sebuah legenda
bagi masa seratus tahun ke depan
untuk dicatat, dilegendakan kembali
sebagai perempuan pendongeng bagi
para lelaki hidung belang
dan tanganmu yang berlumpur itu
menggambarkan sebuah peta pikiran yang
kusut. juga cincin di jarimu yang kau bilang
dari lelaki yang nekat mengikatmu
adalah janji semu yang mungkin akan terbakar
saat ia terkapar di atas ranjang milik
wanita lain
ya, mungkin aku takkan hadir
saat engkau merindukan sebuah taman
yang dapat membalut tubuhmu dari kepungan asap
yang memerihkan mata. tapi jalanmu telah mati
juga arah yang menuju taman itu telah tertutup
ilalang. dan kau tak mungkin menyibaknya dengan
tanganmu yang berlumpur itu, yang tiba-tiba
mengeras seperti batu
aku akan membiarkanmu lagi
sampai kau kembali jadi sebuah mimpi
yang kerap muncul dalam tidurku
membawa ranting kering dimana pada tangkainya
menggelantung bangkai pikiranku
yang tak sudi kau dengar sebelumnya.
Depok, 2011
MATAHARI DI JARI MANISMU
aku melihat di jari manismu matahari melingkar
seperti akar kehidupan yang dirindukan para
pecundang. tapi kau meninggalkan perahumu
begitu saja tanpa ikutan atau tonggak di pantai
pelangi menyepuh rambutmu. anak-anak mengarak
obor di jalan raya, membentuk iring-iringan
seperti burung bangau di atas awan nan kering
seperti mencari keabadian di antara belukar hidup
yang bergelombang
kuaminkan setiap langkah. kota-kota yang tergerus
di wilayah yang tandus mengulum wajah-wajah letih
biarlah keringatku menjadi lembaran surat
agar langkah tetap kembali ke rumah.
Depok, 2011
MENUAI BAYANGANMU
aku menuai bayanganmu dari dinding
pintu sampai ujung sungai. tak betah lagi aku
sebagai busa yang hanya bisa menyimpan
bayangmu sekejap. berilah aku langit sepotong
agar aku punya awan. berilah aku laut sepotong
agar aku punya gelombang
kini aku telah jadi tangkai di halaman
rumahmu. terayun-ayun oleh tingkah burung-
burung liar. aku ingin tertanam di dadamu
dengan air sungai yang terus mengalir
dari pori-porimu
maka aku akan tumbuh selalu di tubuhmu.
Depok, 2011
SEEKOR KUPU KUPU
seekor kupu-kupu terperangkap
di dalam komputer menabraki dinding monitor.
segelas kopi menyulap pagi jadi hitam,
seperti rambutmu yang engkau geraikan ke udara.
jam 9 aku harus ke rumah sakit, katamu. menjenguk orang-orang
yang kehilangan matahari.
aku titip slang infus dan oksigen.
jiwa ini begitu pengap
oleh propaganda kepalsuan, kataku.
langkahmu di teras tanpa jejak.
begitu cepat kehilangan bayang. kehadiran sering sungsang.
kopi hitam dalam gelas mengapungkan aroma gamang.
jalan-jalan dilintasi para pelayat nasib.
mereka meneriaki mimpinya
yang terbakar semalam.
sudah dapatkah slang infus
untuk jiwaku yang ikut terjebak di dalam komputer
kehidupan yang rancu ini?
Depok, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar