Kamis, 23 Juni 2011

BOOK REVIEW : Blue Bloods - Melissa de la Cruz


Setelah Twilight Saga booming, buku-buku sejenis yang menceritakan kehidupan vampir pun bermunculan, dengan harapan bisa menyusul sukses Twilight. Sejauh ini buku tentang vampir yang agak lumayan plot ceritanya menurut saya adalah serial Vampire Academy dan Blue Bloods. Bukan berarti saya hobi baca buku yang bertema vampir—agak bosan dengan vampir malah—tapi ada teman yang hobi beli buku jenis ini, dan tak ada salahnya ikutan baca. Lucunya buku-buku vampir yang terbit setelah Twilight, seperti berusaha keras menciptakan klan vampir yang berbeda-beda—namun kreatif—agar bisa unggul dan menarik pembaca. Malah beberapa konflik dan plotnya jauh lebih bagus dibanding Twilight, yang bisa dibilang bacaan ringan. Tapi jangan terjebak dengan resensi menarik yang ada di bagian cover belakang buku, seperti pada buku When Darkness Comes karya Alexandra Ivy. Setelah membaca buku yang saya sebutkan terakhir, ternyata isinya tidak lebih seperti Harlequin versi vampir, dengan tokoh vampir yang sangat dibuat-buat kesempurnaannya (Viper dan Dante).

Blue Bloods karya Melissa de la Cruz, menceritakan tentang Schuyler Van Alen, gadis 15 tahun yang bersekolah di Duchesne High School, sekolah yang sangat prestisius di New York, dengan sebagian besar murid berasal dari keluarga konglomerat di kota itu. Tapi Schuyler tidak pernah merasa cocok berada di Duchesne, karena meski di masa lalu keluarga Van Alen adalah keluarga terpandang dan kaya, mereka mengalami kemunduran dalam strata sosial dan bisa dibilang bangkrut. Schuyler tidak pernah mengenal ayahnya yang sudah meninggal sejak ia lahir. Ibunya sendiri bertahun-tahun tertidur dalam koma di rumah sakit, sehingga Schuyler hanya mengenal neneknya, Cordelia. Mereka berdua adalah yang tersisa dari generasi Van Alen.

Konflik dimulai saat salah satu murid Duschene meninggal dengan dugaan overdosis, namun Jack Force—cowok populer di sekolah itu yang ditaksir Schuyler—mengatakan padanya bahwa kematian Aggie Carondolet disebabkan karena dia dibunuh. Kebingungan Schuyler bertambah karena ia diundang untuk bergabung dengan Komite, sebuah komunitas elit yang bernama resmi Komite Bank Darah New York. Komite sebenarnya adalah komunitas untuk para Darah Biru—sebutan untuk vampir yang menyaru sebagai kaum elite kota New York—dan Schuyler pun sadar kalau dirinya adalah vampir.

Penyelidikan Schuyler dan sahabatnya Oliver Hazard Perry sampai pada dugaan bahwa penyebab kematian misterius Aggie adalah Croatan/Darah Perak. Berbeda dengan Darah Biru yang meminum Darah Merah/manusia, Darah Perak adalah Lucifer dan pengikut setianya yang menemukan pengetahuan bahwa dengan meminum darah vampir lain dan bukannya manusia, bisa membuat mereka makin kuat dan tak terkalahkan. Keberadaan Darah Perak terakhir muncul di tahun terakhir Kekaisaran Roma, tapi kematian-kematian misterius Darah Biru di masa kini membangkitkan kecurigaan bahwa para Darah Perak sudah kembali. Nenek Schuyler, Cordelia, pun meyakini hal tersebut. Dia juga memberitahu Schuyler bahwa Komite percaya Darah Perak sudah tamat, bahkan menghapus catatan-catatan resmi tentang Darah Perak dari sejarah. Komite menyangkal penyebab pembunuhan misterius Darah Biru adalah Darah Perak.

Namun menyadari bahaya yang mengintai dirinya dan para Darah Biru lain, Schuyler berjuang untuk mencari tahu tentang Darah Perak dan cara mengalahkan mereka, meskipun hal ini ditentang Komite. Satu-satunya orang yang mengetahui cara mengalahkan Darah Perak adalah Lawrence Van Alen, kakek Schuyler, yang bahkan tidak pernah Schuyler tahu keberadaannya. Setelah kematian Cordelia yang diserang oleh Darah Perak, Schuyler pun mencari kakeknya di Venesia (cerita Venesia ini ada di buku kedua Blue Bloods, yaitu Masquerade—sudah terbit juga).

Berhasilkan Schuyler meyakinkan orang-orang terdekatnya bahwa Darah Perak sudah kembali? Bagaimana cara Schuyler dan Darah Biru lain melindungi diri mereka dari serangan Darah Perak, apabila Komite sendiri tidak pernah memberi tahu apa kemampuan khusus mereka sebagai vampir, apalagi cara bertarung?

Jika membaca resensi diatas dan berpendapat bahwa Blue Bloods buku yang sangat gelap dan serius, salah besar. Buku ini enak dibaca, dengan penggambaran gemerlap kota New York yang sempurna. Membaca buku ini seperti menonton Gossip Girl, penuh dengan referensi fashion dari perancang terkenal dan tempat-tempat prestius di Manhattan. Kisahnya pun tidak berkisar seputar kehidupan Schuyler Van Alen saja, tapi dengan penulisan point of view orang ketiga, kita diajak mengenal karakter-karakter lain yang berhubungan dengan hidup Schuyler. Ada bumbu cinta, persahabatan, dan persaingan ala remaja NYC yang seru. Konflik masa lalu masing-masing orangtua mereka juga menarik untuk dibaca. Agar lebih dramatis, Melissa de la Cruz pun mengaitkan sejarah nyata Koloni Yang Hilang Roanoke di tahun 1590, sebagai pembantaian yang dilakukan oleh Darah Perak (peninggalan satu-satunya koloni ini adalah satu tonggak bertuliskan Croatan--dipakai sebagai nama lain Darah Perak). Sangat kreatif.

Membaca buku ini rasanya seperti membaca buku sejarah sekaligus majalah fashion n lifestyle. Lumayan lah buat dibaca di waktu senggang, meski tidak semencengangkan buku YA fantasi favorit saya, Mortal Instruments dari Cassandra Clare J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar